Pengikut

Kamis, 29 Maret 2012

KOMITE SEKOLAH DAN PENGEMBANGAN PENDIDIKAN


 
Komite Sekolah
  1. Pengertian
Partisipasi yang berlaku pada masyarakat kita, masih belum diartikan secara universal. Para perencana pembangunan mengartikan partisipasi sebagai dukungan terhadap rencana atau proyek pembangunan yang direncanakan dan ditentukan oleh pemerintah. Ukuran partisipasi masyarakat diukur oleh berapa besar sumbangan yang diberikan masyarakat untuk ikut menanggung biaya pembangunan, baik berupa uang maupun tenaga yang diberikan kepada pemerintah. Partisipasi yang berlaku secara universal adalah kerja sama yang erat antara perencana dan rakyat dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan, dan mengembangkan hasil pembangunan yang telah dicapai.
Sebagai konsekuensi perluasan makna partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan, maka perlu dibentuk suatu wadah untuk menampung dan menyalurkannya yang diberi nama Komite Sekolah. Komite Sekolah adalah badan mandiri yang mewadahi peran serta masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan, dan efisiensi pengelolaan pendidikan di satuan pendidikan, baik pada pendidikan pra sekolah, jalur pendidikan sekolah maupun jalur pendidikan luar sekolah.
Komite Sekolah merupakan suatu badan atau lembaga non profit dan non politis, dibentuk berdasarkan musyawarah yang demokratis oleh para stake-holder pendidikan pada tingkat satuan pendidikan sebagai representasi dari berbagai unsur yang bertanggungjawab terhadap peningkatan kualitas proses dan hasil pendidikan. 
Ditinjau dari perspektif sejarah persekolahan pada tingkat SD, SLTP, dan SMU/SMK di Indonesia, masyarakat sekolah, khususnya orang tua siswa, telah memerankan sebagian fungsinya dalam membantu penyelenggaraan pendidikan. Sebelum tahun 1974 masyarakat orang tua siswa di lingkungan masing-masing sekolah telah membentuk Persatuan Orang Tua Murid dan Guru (POMG).
Sesuai dengan perkembangan tuntutan masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan jalur sekolah semakin meningkat, maka POMG pada awal tahun 1974 dibubarkan dan dibentuk suatu badan yang dikenal dengan Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan (BP3). Pasang surut perkembangan penyelenggaraan pendidikan jalur dan jenis sekolah,  tidak dapat dilepaskan dari partisipasi masyarakat, khususnya orang tua peserta didik termasuk keberadaan BP3.
Seiring dengan perkembangan tuntutan masyarakat terhadap kualitas pelayanan dan hasil pendidikan yang diberikan oleh sekolah, dan dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional melalui upaya peningkatan mutu, pemerataan, dan efisiensi penyelenggaraan pendidikan, dan tercapainya demokratisasi pendidikan, perlu adanya dukungan dan peran serta masyarakat untuk bersinergi dalam suatu wadah yang lebih sekedar lembaga pengumpul dana pendidikan dari orang tua siswa.
Pada saat ini, selain adanya BP3 dibentuk pula Komite Sekolah (di beberapa sekolah yang memperoleh program khusus), beranggotakan kepala sekolah sebagai ketua dan salah seorang guru, ketua BP3, ketua LKMD dan tokoh masyarakat sebagai anggota. Pembentukan komite dimaksudkan untuk menangani pelaksanaan rehabilitasi bangunan sekolah (SD dan MI), dan pembangunan unit sekolah baru (SLTP dan MTs), sedangkan di SMK, selain terdapat BP3 dibentuk juga Majelis Sekolah yang mempunyai peran menjembatani sekolah dengan industri dalam pelaksanaan Pendidikan Sistem Ganda (PSG), dan Bursa Kerja Khusus (BKK) yang merupakan kerja sama sekolah dengan Depnaker dalam pemasaran lulusan.
Kondisi nyata tersebut dalam memasuki era Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) perlu dibenahi selaras dengan tuntutan perubahan yang dilandasi kesepakatan, komitmen, kesadaran, dan kesiapan membangun budaya baru dan profesionalisme dalam mewujudkan “Masyarakat Sekolah” yang memiliki loyalitas pada peningkatan mutu sekolah. Untuk terciptanya suatu masyarakat sekolah yang kompak dan sinergis, maka Komite Sekolah merupakan bentuk atau wujud kebersamaan yang dibangun melalui kesepakatan.1
Komite Sekolah adalah nama badan yang berkedudukan pada satu satuan pendidikan, baik jalur sekolah maupun luar sekolah, atau beberapa satuan pendidikan yang sama di satu kompleks yang sama. Nama Komite Sekolah merupakan nama generik. Artinya, bahwa nama badan disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing satuan pendidikan, seperti Komite Sekolah, Komite Pendidikan, Komite Pendidikan Luar Sekolah, Dewan Sekolah, Majelis Sekolah, Majelis Madrasah, Komite TK, atau nama lainnya yang disepakati. Dengan demikian, organisasi yang ada tersebut dapat memperluas fungsi, peran, dan keanggotaannya sesuai dengan panduan ini atau melebur menjadi organisasi baru, yang bernama Komite Sekolah.2 Peleburan BP3 atau bentuk-bentuk organisasi lain yang ada di sekolah, kewenangannya akan berkembang sesuai kebutuhan dalam wadah Komite Sekolah. 
  1. Kedudukan dan Sifat
  1. Kedudukan
Komite Sekolah berkedudukan di satuan pendidikan, baik sekolah maupun luar sekolah. Satuan pendidikan dalam berbagai jenjang, jenis, dan jalur pendidikan, mempunyai penyebaran lokasi yang amat beragam. Ada sekolah tunggal dan ada sekolah yang berada dalam satu kompleks. Ada sekolah negeri dan ada sekolah swasta yang didirikan oleh yayasan penyelenggara pendidikan. Oleh karena itu, maka Komite Sekolah dapat dibentuk dengan alternatif sebagai berikut:
    1. Komite Sekolah yang dibentuk di satu satuan pendidikan. Satuan pendidikan sekolah yang siswanya dalam jumlah yang banyak, atau sekolah khusus seperti Sekolah Luar Biasa, temasuk dalam ketegori yang dapat membentuk Komite Sekolah sendiri.
    2. Kedua, Komite Sekolah yang dibentuk untuk beberapa satuan pendidikan sekolah yang sejenis. Sebagai misal, beberapa SD yang terletak di dalam satu kompleks atau kawasan yang berdekatan dapat membentuk satu Komite Sekolah.
    3. Komite Sekolah yang dibentuk untuk beberapa satuan pendidikan yang berbeda jenis dan jenjang pendidikan dan terletak di dalam satu kompleks atau kawasan yang berdekatan. Sebagai misal, ada satu kompleks pendidikan yang terdiri dari satuan pendidikan TK, SD, SLB, dan SMU, dan bahkan SMK dapat membentuk satu Komite Sekolah.
    4. Komite Sekolah yang dibentuk untuk beberapa satuan pendidikan yang berbeda jenis dan jenjang pendidikan milik atau dalam pembinaan satu yayasan penyelenggara pendidikan, misalnya sekolah-sekolah di bawah lembaga pendidikan Muhammadiyah, Al Azhar, Al Izhar, Sekolah Katholik, Sekolah Kristen, dsb.
  1. Sifat
Komite Sekolah merupakan badan yang bersifat mandiri, tidak mempunyai hubungan hierarkis dengan sekolah maupun lembaga pemerintah lainnya. Komite Sekolah dan sekolah memiliki kemandirian masing-masing, tetapi tetap sebagai mitra yang harus saling bekerja sama sejalan dengan konsep manajemen berbasis sekolah (MBS).
Tujuan
Dibentuknya Komite Sekolah dimaksudkan agar adanya suatu organisasi masyarakat sekolah yang mempunyai komitmen dan loyalitas serta peduli terhadap peningkatan kualitas sekolah. Komite Sekolah yang dibentuk dapat dikembangkan secara khas dan berakar dari budaya, demografis, ekologis, nilai kesepakatan, serta kepercayaan yang dibangun sesuai potensi masyarakat setempat. Oleh karena itu, Komite Sekolah yang dibangun harus merupakan pengembangan kekayaan filosofis masyarakat secara kolektif. Artinya, Komite Sekolah mengembangkan konsep yang berorientasi kepada pengguna (client model), berbagai kewenangan (power sharing and advocacy model) dan kemitraan (partnership model) yang difokuskan pada peningkatan mutu pelayanan pendidikan.
Adapun tujuan dibentuknya Komite Sekolah sebagai suatu organisasi masyarakat sekolah adalah sebagai berikut.
  1. Mewadahi dan menyalurkan aspirasi dan prakarsa masyarakat dalam melahirkan kebijakan operasional dan program pendidikan di satuan pendidikan.
  2. Meningkatkan tanggung jawab dan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan.
  3. Menciptakan suasana dan kondisi transparan, akuntabel, dan demokratis dalam penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan yang bermutu di satuan pendidikan.

  1. Peran dan Fungsi
    1. Peran
Keberadaan Komite Sekolah harus bertumpu pada landasan partisipasi masyarakat dalam meningkatkan kualitas pelayanan dan hasil pendidikan di sekolah. Oleh karena itu, pembentukannya harus memperhatikan pembagian peran sesuai posisi dan otonomi yang ada. Adapun peran yang dijalankan Komite Sekolah adalah sebagai berikut.
  1. Pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan di satuan pendidikan.
  2. Pendukung (supporting agency), baik yang berwujud finansial, pemikiran, maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan.
  3. Pengontrol (controlling agency) dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan.
  4. Mediator antara pemerintah (eksekutif) dengan masyarakat di satuan pendidikan. 
    1. Fungsi
Untuk menjalankan perannya itu, Komite Sekolah memiliki fungsi sebagai berikut.
  1. Mendorong tumbuhnya perhatian dan komitmen masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan yang bermutu.
  2. Melakukan kerja sama dengan masyarakat (perorangan/organisasi/ dunia usaha/dunia industri) dan pemerintah berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan yang bermutu.
  3. Menampung dan menganalisis aspirasi, ide, tuntutan, dan berbagai kebutuhan pendidikan yang diajukan oleh masyarakat.
  4. Memberikan masukan, pertimbangan, dan rekomendasi kepada satuan pendidikan mengenai:
  • Kebijakan dan program pendidikan;
  • Rencana Anggaran Pendidikan dan Belanja Sekolah (RAPBS);
  • Kriteria kinerja satuan pendidikan;
  • Kriteria tenaga kependidikan;
  • Kriteria fasilitas pendidikan; dan
  • Hal-hal lain yang terkait dengan pendidikan.
  1. Mendorong orang tua dan masyarakat berpartisipasi dalam pendidikan guna mendukung peningkatan mutu dan pemerataan pendidikan.
  2. Menggalang dana masyarakat dalam rangka pembiayaan penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan.
  3. Melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kebijakan, program, penyelenggaraan, dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan.
Komite Sekolah sesuai dengan peran dan fungsinya, melakukan akuntabilitas sebagai berikut.
    1. Komite Sekolah menyampaikan hasil kajian pelaksanaan program sekolah kepada stakeholder secara periodik, baik yang berupa keberhasilan maupun kegagalan dalam pencapaian tujuan dan sasaran program sekolah.
    2. Menyampaikan laporan pertanggungjawaban bantuan masyarakat baik berupa materi (dana, barang tak bergerak maupun bergerak), maupun non materi (tenaga, pikiran) kepada masyarakat dan pemerintah setempat.
  1. Organisasi
    1. Keanggotaan Komite Sekolah
Keanggotaan Komite Sekolah berasal dari unsur-unsur yang ada dalam masyarakat. Di samping itu unsur dewan guru, yayasan/lembaga penyelenggara pendidikan, Badan Pertimbangan Desa dapat pula dilibatkan sebagai anggota. Anggota Komite Sekolah dari unsur masyarakat dapat berasal dari komponen-komponen sebagai berikut:
      1. Perwakilan orang tua/wali peserta didik berdasarkan jenjang kelas yang dipilih secara demokratis.
      2. Tokoh masyarakat (ketua RT/RW/RK, kepala dusun, ulama, budayawan, pemuka adat).
      3. Anggota masyarakat yang mempunyai perhatian atau dijadikan figur dan mempunyai perhatian untuk meningkatkan mutu pendidikan.
      4. Pejabat pemerintah setempat (Kepala Desa/Lurah, Kepolisian, Koramil, Depnaker, Kadin, dan instansi lain).
      5. Dunia usaha/industri (pengusaha industri, jasa, asosiasi, dan lain-lain).
      6. Pakar pendidikan yang mempunyai perhatian pada peningkatan mutu pendidikan.
      7. Organisasi profesi tenaga pendidikan (PGRI, ISPI, dan lain-lain).
      8. Perwakilan siswa bagi tingkat SLTP/SMU/SMK yang dipilih secara demokratis berdasarkan jenjang kelas.
      9. Perwakilan forum alumni SD/SLTP/SMU/SMK yang telah dewasa dan mandiri.
Anggota Komite Sekolah yang berasal dari unsur dewan guru, yayasan/lembaga penyelenggara pendidikan, Badan Pertimbangan Desa sebanyak- banyaknya berjumlah tiga orang. Jumlah anggota Komite Sekolah sekurang-kurangnya 9 (sembilan) orang dan jumlahnya harus gasal. Syarat-syarat, hak, dan kewajiban, serta masa keanggotaan Komite Sekolah ditetapkan di dalam AD/ART. 
    1. Kepengurusan Komite Sekolah
Pengurus Komite Sekolah ditetapkan berdasarkan AD/ART yang sekurang-kurangnya terdiri atas seorang ketua, sekretaris, bendahara, dan bidang-bidang tertentu sesuai dengan kebutuhan. Pengurus komite dipilih dari dan oleh anggota secara demokratis. Khusus jabatan ketua komite bukan berasal dari kepala satuan pendidikan. Jika diperlukan dapat diangkat petugas khusus yang menangani urusan administrasi Komite Sekolah dan bukan pegawai sekolah, berdasarkan kesepakatan rapat Komite Sekolah.
Pengurus Komite Sekolah adalah personal yang ditetapkan berdasarkan kriteria sebagai berikut.
  1. Dipilih dari dan oleh anggota secara demokratis dan terbuka dalam musyawarah Komite Sekolah.
  2. Masa kerja ditetapkan oleh musyawarah anggota Komite Sekolah.
  3. Jika diperlukan pengurus Komite Sekolah dapat menunjuk atau dibantu oleh tim ahli sebagai konsultan sesuai dengan bidang keahliannya. 
Mekanisme kerja pengurus Komite Sekolah dapat diidentifikasikan sebagai berikut :
  1. Pengurus komite Sekolah terpilih bertanggungjawab kepada musyawarah anggota sebagai forum tertinggi sesuai AD dan ART.
  2. Pengurus Komite Sekolah menyusun program kerja yang disetujui melalui musyawarah anggota yang berfokus pada peningkatan mutu pelayanan pendidikan peserta didik.
  3. Apabila pengurus Komite Sekolah terpilih dinilai tidak produktif dalam masa jabatannya, maka musyawarah anggota dapat memberhentikan dan mengganti dengan kepengurusan baru.
  4. Pembiayaan pengurus Komite Sekolah diambil dari anggaran Komite Sekolah yang ditetapkan melalui musyawarah. 
    1. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga
Komite Sekolah wajib memiliki AD/ART. Anggaran Dasar sekurang-kurangnya memuat:
  1. Nama dan tempat kedudukan.
  2. Dasar, tujuan, dan kegiatan.
  3. Keanggotaan dan kepengurusan.
  4. Hak dan kewajiban anggota dan pengurus.
  5. Keuangan.
  6. Mekanisme kerja dan rapat-rapat.
  7. Perubahan AD dan ART, serta pembubaran organisasi. 
Anggaran Rumah Tangga sekurang-kurangnya memuat:
  1. Mekanisme pemilihan dan penetapan anggota dan pengurus Komite Sekolah.
  2. Rincian tugas Komite Sekolah.
  3. Mekanisme rapat.
  4. Kerja sama dengan pihak lain.
  5. Ketentuan penutup. 

Pembentukan Komite Sekolah
Prinsip Pembentukan
 Pembentukan Komite Sekolah harus dilakukan secara transparan, akuntabel, dan demokratis. Dilakukan secara transparan adalah bahwa Komite Sekolah harus dibentuk secara terbuka dan diketahui oleh masyarakat secara luas mulai dari tahap pembentukan panitia persiapan, proses sosialisasi oleh panitia persiapan, kriteria calon anggota, proses seleksi calon anggota, pengumuman calon anggota, proses pemilihan, dan penyampaian hasil pemilihan. Dilakukan secara akuntabel adalah bahwa panitia persiapan hendaknya menyampaikan laporan pertanggungjawaban kinerjanya maupun penggunaan dana kepanitiaan. Dilakukan secara demokratis adalah bahwa dalam proses pemilihan anggota dan pengurus dilakukan dengan musyawarah mufakat. Jika dipandang perlu pemilihan anggota dan pengurus dapat dilakukan melalui pemungutan suara.
    1. Mekanisme Pembentukan
Pembentukan komite Sekolah diawali dengan pembentukan panitia persiapan yang dibentuk oleh kepala satuan pendidikan dan/atau oleh atau oleh masyarakat. Panitia persiapan berjumlah sekurang-kurangnya 5 (lima) orang yang terdiri atas kalangan praktisi pendidikan (seperti guru, kepala satuan pendidikan, penyelenggara pendidikan), pemerhati pendidikan (LSM peduli pendidikan, tokoh masyarakat, tokoh agama, dunia usaha dan industri), dan orang tua peserta didik.
Panitia persiapan bertugas mempersiapkan pembentukan Komite Sekolah dengan langkah-langkah sebagai berikut :
  1. Mengadakan forum sosialisasi kepada masyarakat (termasuk pengurus/anggota BP3, Majelis Sekolah, dan Komite Sekolah yang sudah ada) tentang Komite Sekolah menurut keputusan ini.
  2. Menyusun kriteria dan mengidentifikasi calon anggota berdasarkan usulan dari masyarakat;
  3. Menyeleksi anggota berdasarkan usulan dari masyarakat;
  4. Mengumumkan nama-nama calon anggota kepada masyarakat;
  5. Menyusun nama-nama anggota terpilih;
  6. Memfasilitasi pemilihan pengurus dan anggota Komite Sekolah;
  7. Menyampaikan nama pengurus dan anggota Komite Sekolah kepada kepala satuan pendidikan.
  8. Panitia Persiapan dinyatakan bubar setelah Komite Sekolah terbentuk.
    1. Penetapan Pembentukan Komite Sekolah
Calon anggota Komite Sekolah yang disepakati dalam musyawarah atau mendapat dukungan suara terbanyak melalui pemungutan suara secara langsung menjadi anggota Komite Sekolah sesuai dengan jumlah anggota yang disepakati dari masing-masing unsur. Komite Sekolah ditetapkan untuk pertama kali dengan Surat Keputusan kepala satuan pendidikan, dan selanjutnya diatur dalam AD dan ART. Misalnya dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga disebutkan bahwa pemilihan anggota dan pengurus Komite Sekolah ditetapkan oleh musyawarah anggota Komite Sekolah.
Pengurus dan anggota komite terpilih dilaporkan kepada pemerintah daerah dan dinas pendidikan setempat. Untuk memperoleh kekuatan hukum, Komite Sekolah dapat dikukuhkan oleh pejabat pemerintahan setempat. Misalnya Komite Sekolah untuk SD dan SLTP dikukuhkan oleh Camat dan Kepala Cabang Dinas Pendidikan Kecamatan; SMU/SMK dikukuhkan oleh Kepala Dinas Kabupaten/Kota dan Bupati/Walikota.
 
Tata Hubungan Antarorganisasi
Penyelenggaraan pendidikan jalur sekolah sesuai dengan jenjang dan jenis, baik negeri maupun swasta, telah diatur melalui perundang-undangan serta perangkat peraturan yang mengikutinya. Selain itu setiap penyelenggaraan persekolahan dibina oleh instansi yang berwenang. Dengan demikian, kondisi tersebut berimplikasi terhadap tatanan dan hubungan baik vertikal maupun horizontal yang baku antara sekolah dengan instansi lain. Hubungan-hubungan tersebut bisa berupa laporan, konsultasi, koordinasi, pelayanan, dan kemitraan.3

  1. Pengembangan Pendidikan di Sekolah
  1. Mutu Pendidikan
Pendidikan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia, karena Pendidikan merupakan suatu usaha untuk menguatkan kualitas manusia yang berlangsung seumur hidup, dengan berpedoman pada pendidikan maka manusia akan dapat maju dan berkembang untuk mencapai karangka fikir yang lebih sempurna.
Dalam Undang-Undang Nomor 25 tahun 2000 tentang program Pembangunan Nasional (Propenas) tahun 2000-2004 menjelaskan tentang perlunya pengendalian mutu pendidikan dengan meningkatkan efisiensi dan efektifitas proses belajar mengajar melalui pemetaan mutu sekolah. Penilaian proses dan hasil belajar secara bertahap dan berkelanjutan, serta pengembangan sistem dan alat ukur penilaian pendidikan yang lebih efektif, untuk meningkatkan mutu pendidikan.4
Mutu pendidikan adalah gambaran dan karakteristik menyeluruh dari barang atau jasa yang menunjukkan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan atau tersirat. Dalam konteks pendidikan, pengertian mutu mencakup input, proses dan output pendidikan 5
Dalam buku Petunjuk peningkatan Mutu Pendidikan di Sekolah Dasar, pengertian tentang mutu pendidikan di Sekolah Dasar adalah: “Kemampuan sekolah dalam pengelolaan secara operasional dan efesien terhadap komponen-komponen yang berkaitan dengan sekolah, sehingga menghasilkan nilai tambah terhadap komponen tersebut menurut norma / standar yang berlaku.6
Dari dua pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa mutu pendidikan diartikan sebagai suatu usaha yang dilakukan oleh institusi pendidikan itu sendiri untuk menciptakan output pendidikan yang berkualitas. Dalam hal ini adalah peningkatan mutu pendidikan di sekolah dasar atau Madrasah Ibtidaiyah.
Sebagaimana kami kutip dalam Buku Petunjuk Peningkatan Mutu Pendididikan Di Sekolah Dasar yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah tahun 1996 disebutkan bahwa komponen-komponen yang berpengaruh dalam meningkatkan mutu pendidikan di Sekolah Dasar adalah :
  • Siswa
  • Guru
  • Kurikulum
  • Sarana dan Prasarana Pendidikan
  • Pengelolaan Sekolah
  • Proses Belajar Mengajar
  • Pengelolaan Dana
  • Supervisi dan Monitoring
  • Hubungan Sekolah dengan Lingkungan
Sekolah merupakan lembaga formal bagi berlangsungnya kegiatan pendidikan.7 Sekolah sangat memungkinkan bagi seseorang untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan-kemampuan lain melalui kegiatan belajar mengajar. Sekolah sangat besar pengaruhnya terhadap kegiatan belajar dan hasil yang dicapai siswa. Baik buruknya kondisi sekolah berpengaruh besar terhadap baik buruknya kelangsungan kegiatan belajar dan hasil yang dicapai. Beberapa hal yang berkaitan dengan kondisi sekolah yang mempengaruhi belajar siswa antara lain meliputi faktor kurikulum, suasana sekolah, kualitas guru, sarana dan prasarana, perpustakaan sekolah, disiplin sekolah, letak sekolah, kebersihan, keindahan, kerapian, ketertiban dan kenyamanan sekolah.8
Oleh karena itu pendidikan yang berlangsung di sekolah merupakan hal yang tepat dalam menciptakan output pendidikan, khususnya di sekolah dasar. Sehingga pendidikan di sekolah dasar sebagai jembatan dalam menentukan strategi peningkatan mutu pendidikan.
  1. Manajemen Sekolah
Kelemahan sistem pendekatan yang cenderung tidak menjadikan sekolah lebih mandiri yang ada, hal ini terkesan adanya ketergantungan terhadap sistem birokrasi. Maka dari itu harus diubah dengan pendekatan kemandirian sekolah, pemberian kewenangan yang lebih besar terhadap sekolah karena sekolah adalah pihak yang lebih tahu kelemahan dan keunggulan sekolahnya.
Sistem MPMBS adalah salah satu jalan keluar untuk meningkatkan mutu pendidikan. Dengan sistem ini kemandiriran dan inisiatif dapat dikembangkan, kepedulian warga sekolah dan masyarakat terhadap pendidikan dapat ditingkatkan, menjadikan kompetisi antar sekolah yang satu dengan sekolah yang lain dapat berjalan dengan baik dan ditingkatkan.
Pendidikan memegang peranan yang sangat penting dalam proses peningkatan kualitas sumber daya manusia dan merupakan suatu proses yang terintegrasi dengan proses peningkatan kualitas sumber daya manusia itu sendiri. Menyadari pentingnya proses peningkatan kualitas sumber daya manusia, maka Pemerintah telah berupaya mewujudkan amanat tersebut melalui berbagai usaha pembangunan pendidikan yang lebih berkualitas melalui pengembangan dan perbaikan kurikulum dan sistem evaluasi, perbaikan sarana pendidikan, pengembangan dan pengadaan materi ajar, serta pelatihan bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya. Tetapi kenyataan belum cukup dalam meningkatkan kualitas pendidikan.9
Menyadari pentingnya proses peningkatan kualitas sumber daya manusia, maka pemerintah bersama kalangan swasta sama-sama telah dan terus berupaya mewujudkan amanat tersebut melalui berbagai usaha pembangunan pendidikan yang lebih berkualitas antara lain melalui pengembangan dan perbaikan kurikulum dan sistem evaluasi, perbaikan sarana pendidikan, pengembangan dan pengadaan materi ajar, serta pelatihan bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya.
Tetapi pada kenyataannya upaya pemerintah tersebut belum cukup berarti dalam meningkatkan kuailtas pendidikan. Salah satu indikator kekurang berhasilan ini ditunjukkan antara lain dengan NEM siswa untuk berbagai bidang studi pada jenjang SLTP dan SLTA yang tidak memperlihatkan kenaikan yang berarti bahkan boleh dikatakan konstan dari tahun ke tahun, kecuali pada beberapa sekolah dengan jumlah yang relatif sangat kecil.
Ada dua faktor yang dapat menjelaskan mengapa upaya perbaikan mutu pendidikan selama ini kurang atau tidak berhasil. Pertama strategi pembangunan pendidikan selama ini lebih bersifat input oriented. Strategi yang demikian lebih bersandar kepada asumsi bahwa bilamana semua input pendidikan telah dipenuhi, seperti penyediaan buku-buku (materi ajar) dan alat belajar lainnya, penyediaan sarana pendidikan, pelatihan guru dan tenaga kependidikan lainnya, maka secara otomatis lembaga pendidikan ( sekolah) akan dapat menghasilkan output (keluaran) yang bermutu sebagai mana yang diharapkan. Ternyata strategi input-output yang diperkenalkan oleh teori education production function (Hanushek, 1979,1981) tidak berfungsi sepenuhnya di lembaga pendidikan (sekolah), melainkan hanya terjadi dalam institusi ekonomi dan industri.
Kedua, pengelolaan pendidikan selama ini lebih bersifat macro-oriented, diatur oleh jajaran birokrasi di tingkat pusat. Akibatnya, banyak faktor yang diproyeksikan di tingkat makro (pusat) tidak terjadi atau tidak berjalan sebagaimana mestinya di tingkat mikro (sekolah). Atau dengan singkat dapat dikatakan bahwa komleksitasnya cakupan permasalahan pendidikan, seringkali tidak dapat terpikirkan secara utuh dan akurat oleh birokrasi pusat.
Diskusi tersebut memberikan pemahaman kepada kita bahwa pembangunan pendidikan bukan hanya terfokus pada penyediaan faktor input pendidikan tetapi juga harus lebih memperhatikan faktor proses pendidikan..Input pendidikan merupakan hal yang mutlak harus ada dalam batas - batas tertentu tetapi tidak menjadi jaminan dapat secara otomatis meningkatkan mutu pendidikan (school resources are necessary but not sufficient condition to improve student achievement). Disamping itu mengingat sekolah sebagai unit pelaksana pendidikan formal terdepan dengan berbagai keragaman potensi anak didik yang memerlukan layanan pendidikan yang beragam, kondisi lingkungan yang berbeda satu dengan lainnya, maka sekolah harus dinamis dan kreatif dalam melaksanakan perannya untuk mengupayakan peningkatan kualitas/mutu pendidikan. hal ini akan dapat dilaksanakan jika sekolah dengan berbagai keragamannya itu, diberikan kepercayaan untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri sesuai dengan kondisi lingkungan dan kebutuhan anak didiknya. Walaupun demikian, agar mutu tetap terjaga dan agar proses peningkatan mutu tetap terkontrol, maka harus ada standar yang diatur dan disepakati secara secara nasional untuk dijadikan indikator evaluasi keberhasilan peningkatan mutu tersebut (adanya benchmarking). Pemikiran ini telah mendorong munculnya pendekatan baru, yakni pengelolaan peningkatan mutu pendidikan di masa mendatang harus berbasis sekolah sebagai institusi paling depan dalam kegiatan pendidikan. Pendekatan ini, kemudian dikenal dengan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah (School Based Quality Management) atau dalam nuansa yang lebih bersifat pembangunan (developmental) disebut School Based Quality Improvement.
Konsep yang menawarkan kerjasama yang erat antara sekolah, masyarakat dan pemerintah dengan tanggung jawabnya masing - masing ini, berkembang didasarkan kepada suatu keinginan pemberian kemandirian kepada sekolah untuk ikut terlibat secara aktif dan dinamis dalam rangka proses peningkatan kualitas pendidikan melalui pengelolaan sumber daya sekolah yang ada. Sekolah harus mampu menterjemahkan dan menangkap esensi kebijakan makro pendidikan serta memahami kindisi lingkunganya (kelebihan dan kekurangannya) untuk kemudian melaui proses perencanaan, sekolah harus memformulasikannya ke dalam kebijakan mikro dalam bentuk program - program prioritas yang harus dilaksanakan dan dievaluasi oleh sekolah yang bersangkutan sesuai dengan visi dan misinya masing - masing. Sekolah harus menentukan target mutu untuk tahun berikutnya. Dengan demikian sekolah secara mendiri tetapi masih dalam kerangka acuan kebijakan nasional dan ditunjang dengan penyediaan input yang memadai, memiliki tanggung jawab terhadap pengembangan sumber daya yang dimilikinya sesuai dengan kebutuhan belajar siswa dan masyarakat.
Salah satu wujud aktualisasinya dibentuklah suatu badan yang mengganti keberadaan Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan (BP3) yakni Komite Sekolah melalui Keputusan Menteri Pendidikan Nasional nomor : 044/U/2002 tanggal 2 April 2002. Penggantian nama BP3 menjadi Komite Sekolah didasarkan atas perlunya keterlibatan masyarakat secara penuh dalam meningkatkan mutu pendidikan.
Salah satu tujuan pembentukan Komite Sekolah adalah meningkatkan tanggung jawab dan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan. Hal ini berarti peran serta masyarakat sangat dibutuhkan dalam peningkatkan mutu pendidikan, bukan hanya sekadar memberikan bantuan berwujud material saja, namun juga diperlukan bantuan yang berupa pemikiran, ide, dan gagasan-gagasan inovatif demi kemajuan suatu sekolah.
  1. Kriteria Sekolah Bermutu
Fungsi lembaga pendidikan sebagai tempat belajar yang memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan pengalaman pembelajaran yang bermutu bagi peserta didik. Tempat belajar atau dimaknai sebagai suatu organisasi pendidikan memiliki bidang garapan tertentu, yaitu bidang kesiswaan, keguruan, kurikulum, sarana prasarana, keuangan, hubungan sekolah dan masyarakat, pengelolaan kelas, kebijakan, dan pelayanan khusus seperti bimbingan dan penyuluhan, perpustakaan, laboratorium, ekstrakurikuler, kantin atau koperasi dan transportasi sekolah. Semua itu dikelola bagi kebermanfaatan siswa belajar.10 Dengan demikian, sekolah bermutu adalah sekolah yang menjalankan fungsinya sebagai tempat belajar yang paling baik yang menyediakan layanan pembelajaran yang bermutu bagi siswa. Hasil belajar yang memuaskan bagi semua pihak.
Dalam konteks pendidikan, pengertian mutu mendasarkan pada input (masukan), proses, output (keluaran).
    1. Input (masukan)
Dapat dilihat dari beberapa sisi. Pertama, kondisi baik atau tidaknya masukan sumber daya manusia, seperti kepala sekolah, guru laboran, staf tata usaha, dan siswa. Kedua, memenuhi atau tidaknya kriteria masukan material berupa alat peraga, buku-buku, kurikulum, prasarana, sarana sekolah dll. Ketiga, memenuhi atau tidaknya kriteria masukan yang berupa perangkat lunak, seperti peraturan, struktur organisasi dan deskripsi kerja. Keempat, mutu masukan yang bersifat harapan dan kebutuhan seperti visi, motivasi, ketekunan dan cita-cita.11
    1. Proses
Sekolah yang bermutu pada umumnya memiliki sejumlah karakteristik “proses” sebagai berikut:12
      1. Proses belajar mengajar yang efektivitasnya tinggi Sekolah yang menerapkan peningkatan mutu, memiliki efektivitas proses belajar mengajar yang tinggi. Hal ini ditunjukkan pada pemberdayaan peserta didik. Dimana proses belajar mengajar tidak sekedar memorisasi dan recall, bukan sekedar penekanan pada penguasaan pengetahuan tentang apa yang diajarkan, akan tetapi lebih menekankan pada internalisasi tentang apa yang diajarkan sehingga tertanam dan berfungsi sebagai muatan nurani dan dihayati serta dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari oleh peserta didik.
      2. Kepemimpinan sekolah yang kuat Pada sekolah yang menerapkan peningkatan mutu, kepala sekolah memiliki peran yang kuat dalam mengkoordinasikan, menggerakkan dan menyerasikan semua sumber daya pendidikan yang tersedia. Kepemimpinan kepala sekolah merupakan salah satu factor yang dapat mendorong sekolah untuk dapat mewujudkan visi, misi, tujuan, dan sasaran sekolahnya melalui program-program yang dilaksanakan secara terencana dan bertahap. Oleh karena itu, kepala sekolah dituntut memiliki kemampuan manajemen dan kepemimpinan yang tangguh agar mampu mengambil keputusan dan inisiatif/prakarsa untuk meningkatkan mutu sekolah.
      3. Lingkungan sekolah yang aman dan tertib Sekolah memiliki lingkungan (iklim) belajar yang aman, tertib, dan nyaman sehingga proses belajar mengajar dapat berlangsung dengan nyaman. Karena itu, sekolah yang efektif selalu menciptakan iklim sekolah yang aman, nyaman, tertib melalui pengupayaan faktor­faktor yang dapat menumbuhkan iklim tersebut.
      4. Pengelolaan tenaga kependidikan yang efektif. Pengelolaan tenaga kependidikan mulai dari analisis kebutuhan, perencanaan, pengembangan, evaluasi kinerja, hubungan kerja, hingga sampai pada imbal jasa, merupakan pekerjaan penting bagi seorang kepala sekolah. Terlebih pada pengembangan tenaga kependidikan, ini harus dilakukan secara terus-menerus mengingat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedemikian pesat. Jadi, tenaga kependidikan yang diperlukan untuk menyukseskan peningkatan mutu sekolah adalah tenaga kependidikan yang mempunyai komitmen yang tinggi, selalu mampu dan sanggup menjalankan tugasnya dengan baik.
      5. Sekolah memiliki budaya mutu Budaya mutu memiliki elemen-elemen sebagai berikut:
        1. Informasi kualitas harus digunakan untuk perbaikan, bukan untuk mengadili/mengontrol orang,
        2. Kewenangan harus sebatas tanggung jawab
        3. Hasil harus diikuti penghargaan atau sanksi,
        4. Kolaborasi dan sinergi, bukan kompetisi, harus merupakan basis untuk kerjasama,
        5. Warga sekolah merasa aman terhadap pekerjaannya
        6. Atmosfer keadilan harus ditanamkan
        7. Imbal jasa harus sepadan dengan nilai pekerjaannya
        8. Warga sekolah merasa memiliki sekolah
      6. Sekolah memiliki “teamwork” yang kompak, cerdas dan dinamis Kebersamaan (teamwork) merupakan karakteristik yang dituntut oleh sekolah yang menerapkan peningkatan mutu, karena output pendidikan merupakan hasil kolektif warga sekolah, bukan hasil individual. Karena itu, budaya kerjasama antar fungsi dalam sekolah, antar individu dalam sekolah, harus merupakan kebiasaan hidup sehari-hari warga sekolah.
      7. Sekolah memiliki kewenangan (kemandirian) Sekolah memiliki kewenangan untuk melakukan yang terbaik bagi sekolahnya, sehingga dituntut untuk memiliki kemampuan dan kesanggupan kerja yang tidak selalu menggantungkan pada atasan. Untuk menjadi mandiri, sekolah harus memiliki sumber daya yang cukup untuk menjalankan tugasnya.
      8. Partisipasi yang tinggi dari warga sekolah dan masyarakat Sekolah yang menerapkan peningkatan mutu, memiliki karakteristik bahwa partisipasi masyarakat merupakan bagian kehidupannya. Hal ini dilandasi oleh keyakinan bahwa makin tinggi tingkat partisipasi, makin besar rasa memiliki; makin besar rasa memiliki, makin besar pula rasa tanggung jawab; dan makin besar rasa tanggung jawab, makin besar pula dedikasinya.
      9. Sekolah memiliki keterbukaan (transparansi) manajemen Keterbukaan/transparansi dalam pengelolaan sekolah merupakan karakteristik sekolah yang menerapkan peningkatan mutu. Keterbukaan/transparansi ini ditunjukkan dalam pengambilan keputusan, perencanaan dan pelaksanaan kegiatan, penggunaan uang, dan sebagainya, yang selalu melibatkan pihak-pihak terkait sebagai alat kontrol.
      10. Sekolah memiliki kemauan untuk berubah (psikologis dan fisik) Perubahan sekolah merupakan sesuatu yang menyenangkan bagi semua warga sekolah. Yang dimaksud perubahan adalah peningkatan, baik bersifat fisik maupun psikologis. Artinya, setiap dilakukan perubahan, hasilnya diharapkan lebih baik dari sebelumnya (ada peningkatan) terutama mutu peserta didik.
      11. Sekolah melakukan evaluasi dan perbaikan secara berkelanjutan Fungsi evaluasi menjadi sangat penting dalam rangka meningkatkan mutu peserta didik dan mutu sekolah secara keseluruhan dan secara terus menerus. Perbaikan secara terus menerus harus merupakan kebiasaan warga sekolah. Tiada hari tanpa perbaikan. Karena itu, system mutu yang baku sebagai acuan bagi perbaikan harus ada. System mutu yang dimaksud harus mencakup organisasi, tanggung jawab, prosedur, proses dan sumber daya untuk menerapkan manajemen mutu.
      12. Sekolah responsive dan antisipatif terhadap kebutuhan Sekolah selalu tanggap/responsive terhadap berbagai aspirasi yang muncul bagi peningkatan mutu. Karena itu, sekolah selau membaca lingkungan dan menanggapinya secara cepat dan tepat. Bahkan, sekolah tidak hanya mampu menyesuaikan terhadap perubahan/tuntutan, akan tetapi juga mampu mengantisipasi hal-hal yang mungkin bakal terjadi. Menjemput bola, adalah padanan kata yang tepat bagi istilah antisipatif.
      13. Komunikasi yang baik Sekolah yang bermutu pada umumnya memiliki komunikasi yang baik, terutama antar warga sekolah, dan juga sekolah ­masyarakat, sehingga kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masing­-masing warga sekolah dapat diketahui. Dengan cara ini, maka keterpaduan semua kegiatan sekolah dapat diupayakan untuk mencapai tujuan dan sasaran sekolah yang telah dirumuskan. Selain itu, komunikasi yang baik juga akan membentuk teamwork yang kuat, kompak dan cerdas, sehingga berbagai kegiatan sekolah dapat dilakukan secara merata oleh warga sekolah.
      14. Sekolah memiliki akuntabilitas Akuntabilitas adalah bentuk pertanggungjawaban yang harus dilakukan sekolah terhadap keberhasilan program yang telah dilaksanakan. Akuntabilitas ini berbentuk laporan prestasi yang dicapai dan dilaporkan kepada pemerintah, orang tua siswa dan masyarakat.
    1. Output (Keluaran)
Output sekolah adalah prestasi sekolah yang dihasilkan oleh proses pembelajaran dan manajemen di sekolah. Pada umumnya, output dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu:
  1. Output berupa prestasi akademik, misalnya: NEM, lomba karya ilmiah remaja dll.
  2. Output non akademik, misalnya: prestasi olahraga, kesenian, solidaritas yang tinggi, kedisiplinan dll. 13
Adapun menurut Edward Sallis, sekolah yang bermutu memiliki kriteria sebagai berikut:
      1. Sekolah berfokus pada pelanggan, baik pelanggan internal maupun pelanggan eksternal. Pada sekolah yang bermutu, totalitas perilaku staf, tenaga akademik, dan pimpinan melakukan tugas pokok dan fungsi untuk kebutuhan pelanggan. Menurut Edward Sallis, pelanggan jasa pendidikan umumnya dan sekolah khususnya adalah semua pihak yang memerlukan, terlibat didalam, dan berkepentingan terhadap jasa pendidikan itu. Pelanggan sekolah itu terdiri dari tiga komponen utama. Pertama, pelanggan primer, adalah siswa atau pihak-pihak yang menerima jasa pendidikan secara langsung. Kedua, pelanggan sekunder, adalah pihak­pihak yang berkepentingan terhadap mutu jasa pendidikan. Pihak-pihak yang termasuk kategori pelanggan sekunder ini antara lain orang tua siswa, instansi atau penyandang dana/beasiswa, pemerintah yang menanggung biaya pendidikan, pengelola pendidikan pada lembaga pendidikan yang bersangkutan, tenaga akademik dan tenaga administratif sekolah. Ketiga, pelanggan tersier, adalah pelanggan yang tidak terkait langsung dengan pelayanan jasa pendidikan, tetapi berkepentingan terhadap mutu jasa layanan kependidikan itu karena mereka memanfaatkan hasil jasa layanan. Pihak-pihak yang termasuk dalam kategori tersier ini antara lain masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah.
      2. Sekolah berfokus pada upaya untuk mencegah masalah yang muncul, dalam makna ada komitmen untuk bekerja secara benar dari awal.
      3. Sekolah memiliki investasi pada sumber daya manusianya. Komitmen ini perlu terus dijaga jangan sampai mengalami “kerusakan”, karena “kerusakan psikologis” sangat sulit memperbaikinya.
      4. Sekolah memiliki strategi untuk mencapai kualitas, baik di tingkat pimpinan, tenaga akademik maupun tenaga administratif.
      5. Sekolah mengelola atau memperlakukan keluhan sebagai umpan balik untuk mencapai kualitas dan memposisikan kesalahan sebagai instrument untuk berbuat benar pada peristiwa atau kejadian berikutnya.
      6. Sekolah memiliki kebijakan dalam perencanaan untuk mencapai kualitas, baik perencanaan jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka panjang.
      7. Sekolah mengupayakan proses perbaikan dengan melibatkan semua orang sesuai dengan tugas pokok, fungsi dan tanggung jawabnya.
      8. Sekolah mendorong orang yang dipandang memiliki kreativitas, mampu menciptakan kualitas, dan merangsang yang lainnya agar dapat bekerja secara berkualitas.
      9. Sekolah memperjelas peran dan tanggung jawab setiap orang, termasuk kejelasan arah kerja secara vertical dan horizontal.
      10. Sekolah memiliki strategi dan criteria evaluasi yang jelas.
      11. Sekolah memandang atau menempatkan kualitas yang telah dicapai sebagai jalan untuk memperbaiki kualitas layanan lebih lanjut.
      12. Sekolah memandang kualitas sebagai bagian integral dari budaya kerja.
      13. Sekolah menempatkan peningkatan kualitas secara terus menerus sebagai suatu keharusan. 14


Komite Sekolah Dalam Pelaksanaan Pengembangan Pendidikan Di Sekolah
Otonomi daerah sebagai wahana untuk menciptakan pemerataan kesejahteraan di masyarakat, lancar dan tidaknya realisasi pelaksanaan otonomi daerah tersebut, sangat dipengaruhi oleh kemampuan masyarakat itu sendiri. Kemampuan yang dibutuhkan antaranya adalah kemampuan sumber daya manusia untuk mengelola dnamika masyarakat, kemampuan untuk mengalokasikan sumber finansial daya alam, secara tepat, memotifasi lembaga-lembaga pendukung pembangunan, serta keberanian untuk mengambil keputusan-keputusan untuk kemajuan daerah.
Dalam rangka pelaksanaan otoniomi pendidikan sebagai salah satu bagian dari otonomi daerah, maka untuk meningkatkan peran serta masyarakat di bidang pendidikan, diperlukan suatu wadah yang dapat mengakomodasikan pandangan, aspirasi dan menggali potensi masyarakat untuk menjamin terciptanya demokratisasi, transparasi, dan akuntabilitas pendidikan.salah satu wadah tersebut adalah dewan pendidikan di tingkat Kabupaten/ Kota dan Komite Sekolah di tingkat satuan pendidikan. Keberadaan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah ini telah mengacu kepada undang-undang nomor 25 tahun 2000 tentang Progam Pembangunan Nasional (Propenas) tahun 2000-2004, dan sebagai implementasi dari undang-undang tersebut telah diterbitkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 044/U/2002 tanggal 2 April 2002 tentang dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.
Pendidikan merupakan kebutuhan manusia yang bersifat universal, untuk seluruh umat dimanapun dan kapanpun. Di Indonesia pendidikan merupakan kebutuhan seluruh warga negara, maka penegmbangannya harus konseptual, menyeluruh, fleksibel dan berkesinambungan.15 Untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan di antaranya kebijakan pembentukan dewan Pendidikan dan Komite Sekolah yang akhir-akhir ini menjadi agenda terhangat dalam dunia pendidikan di Indonesia. Konsep baru ini cenderung disambut dan diapresiasi sebagai sebuah angin segar dalam proses perjalanan penyelenggaraan lembaga pendidikan dengan lebih mengintensifkan pelibatan masyarakat.
Adanya perubahan paradigma sistem pemerintahan dari sentralisasi menjadi desentralisasi telah membuka peluang bagi mmasyarakat utnuk dapat meningkatkan peran sertanya dalam pengelolaan pendidikan, Salah satunya upaya untuk mewujudkan peluang tersebut adalah melalui Dewan Pendidikan di tingkat Kabupaten / Kota dan Komite Sekolah di tingkat satuan pendidikan. Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah merupakan amanat rakyat yang telah tertuang dalam UU RI No.25 tahun 2000 tentang Progam Pembangunan Nasional (Propenas) 2000-2004. amanat rakyat ini selaras dengan kebijakan otonomi daerah, yang telah memposisikan Kabupaten/Kota sebagai pemegang kewenangan dan tanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan. Pelaksanaan pendidikan di daerah tidak hanya diserahkan kepada Kabupaten/Kota, melainkan juga dalam bebrapa hal telah diberikan kepada satuan pendidikan, baik pada jalur pendidikan sekolah maupun luar sekolah. Dengan kata lain, keberhasilan dalam penyelenggaraan pendidikan tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, melainkan juga pemerintah propinsi, Kabupaten/Kota, dan pihak sekolah orang tua, dan masyarakat atau stakeholder pendidikan. Hal ini sesuai dengan konsep partisipasi bebasis masyarakat (community based participation) dan Manajemen Berbasis Sekolah (school based management) yang kini tidak hanya menjadi wacana, tetapi mulai dilaksanakan di Indonesia. Inti dari penerapan kedua konsep tersebut adalah bagaimana agar sekolah dan semua yang berkompeten atau stakeholder penddikan dapat memberikan layanan pendidikan yang berkualitas. Untuk itu diperlukan kerjasama yang sinergis dari pihak sekolah, keluarga, dan masyarakat atau stakeholder lainnya secara sitematik sebagai wujud peran serta dalam melakukan pengelolaan pendidikan melalui Dewan Pendidikan dan Komite sekolah.
Sesuai dengan perkembangan tuntutan masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan yang semakin meningkat dewasa ini, maka dalam era manajemen Berbasis Sekolah (MBS) pengelolaan pendidikan perlu dibenahi selaras dengan tutntutan perubahan yang dilandasi oleh adanya kesepakatan, komitmen, kesadaran, kesiapan membangun budaya baru dan profesionalisme dalam mewujudkan "Masyarakat Sekolah" yang memiliki loyalitas terhadap peningkatan mutu sekolah.
Berikut ini beberapa masalah yang menyebabkan peningkatan mutu pendidikan belum berjalan secara maksimal, serta beberapa masalah yang menjadi sebab-sebab mengapa otonomi pendidikan sangat penting dan perlu:
    1. Akuntabilitas sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan kepada masyrakat masih sangat rendah.
    2. Pengguna sumber daya tidak optimal, rendahnya anggran pendidikan merupakan kendala yang besar.
    3. Partisipasi masyarakat terhadap pendidikan rendah.
    4. Sekolah tidak mampu mengikuti perubahan yang terjadi di lingkungannnya, Pendidikan dengan segala persoalannya tidak mungkin diatasi hanya oleh lembaga persekolahan.
Untuk melaksanakan program-progamnya, sekolahan perlu mengundang berbagai pihak yaitu keluarga, masyarakat, dan dunia usaha industri untuk beraptisipasi secara aktif dalam berbagai program pendidikan. Partisipasi ini perlu dikelola dan dikoordinasikan dengan baik agar lebih bermakna bagi sekolah, terutama dalam peningkatan mutu dan efektifitas pendidikan lewat suatu wadah yaitu Dewan Pendidikan di tingkat Kabupaten/ Kota dan Komite Sekolah di setiap satuan pendidikan.
Mutu pendidikan, sebagai salah satu pilar pengembangan sumber daya manusia sangat penting maknanya bagi pembangunan nasional. Bahkan dapat dikatakan masa depan bangsa terletak pada keberadaan pendidikan yang berkualitas pada masa kini. Pendidikan yang berkualitas hanya akan muncul apabila terdapat lembaga pendidikan yang berkualitas. Untuk itu, peningkatan mutu lembaga pendidikan merupakan titik strategi dalam upaya menciptakan pendidikan yang berkualitas.
Untuk dapat menciptakan pendidikan yang bermutu, maka pihak manajemen pendidikan memerlukan strategi yang tepat. Dalam menentukan strategi apa yang akan digunakan manajemen pendidikan, diperlukan pertimbangan yang tepat karena akan menyangkut keberadaan lembaga pendidikan di masa mendatang.
Menurut Glueck, strategi adalah satu kesatuan rencana yang komprehensif dan terpadu yang menghubungkan kekuatan strategi organisasi dengan lingkungan yang dihadapinya, kesemuanya menjamin agar tujuan organisasi tercapai.16
Salah satu strategi penting dalam meningkatkan mutu lembaga pendidikan adalah mengadakan kerjasama antara sekolah dan masyarakat. Tanpa adanya kerjasama antara sekolah dan masyarakat, mustahil harapan untuk mewujudkan sekolah yang bermutu dapat tercapai. Oleh karena itu, kerjasama harus terus dibina dan dikembangkan.
Istilah jaringan kerjasama biasanya dipakai dalam dunia bisnis, karena mereka didesak untuk menjual produk atau jasanya. Jadi harus memiliki jaringan untuk kerjasama yang saling menguntungkan. Dalam bidang pendidikanpun perlu dibentuk jaringan kerjasama antara sekolah dengan lembaga-lembaga lain yang memiliki kepedulian terhadap pendidikan. Misalnya saja orang tua siswa, komite sekolah, tokoh masyarakat, tokoh agama, badan perwakilan desa (BPD), puskesmas, kantor pemerintahan, perusahaan swasta dsb.17
Lembaga pendidikan memberikan layanan kepada masyarakat sebagai agen pembaharuan terhadap masyarakat dengan penemuan-penemuan dan inovasi­inovasinya sebaliknya masyarakat mengimbangi pemberian lembaga pendidikan dengan ikut berpartisipasi dan bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup dan kemajuan lembaga.
Kerjasama seperti itu mengisyaratkan adanya informasi yang kontinu diantara lembaga pendidikan dengan masyarakat. Informasi itu seharusnya bersifat dua arah yaitu dari lembaga ke masyarakat dan dari masyarakat ke lembaga pendidikan. Tidak dibenarkan hanya lembaga pendidikan yang aktif memberikan informasi sementara masyarakat pasif menerima saja, melainkan kedua belah pihak hendaknya secara bergantian mengadakan aksi dan respon.18
Dalam pelaksanaan hubungan masyarakat dan sekolah, kepala sekolah dan guru merupakan kunci keberhasilan dimana kepala sekolah dituntut untuk senantiasa berusaha membina dan mengembangkan hubungan kerjasama yang baik antara sekolah dan masyarakat guna mewujudkan sekolah yang bermutu. Hubungan yang harmonis ini akan membentuk:42
  1. Saling pengertian antara sekolah, orang tua, masyarakat, dan lembaga­lembaga lain yang ada di masyarakat termasuk dunia kerja.
  2. Saling membantu antara sekolah dan masyarakat karena mengetahui manfaat, arti dan pentingnya peranan masing-masing.
  3. Kerjasama yang erat antara sekolah dengan berbagai pihak yang ada di masyarakat dan mereka merasa bangga dan ikut bertanggung jawab atas suksesnya pendidikan di sekolah. 19